Menengok Keberadaan Vihara diThailand

Penyaji: Khemanando Bhikkhu

Melalui rubrik ini penyaji mengajak para pembaca untuk melihat atau mengenal lebih dekat keberadaan sebuah vihara dithailand. Kini tiba saatnya penyaji perkenalkan sebuah vihara yang mungkin masih asing bagi para pembaca dan seperti apa aktivitas didalamnya. Oleh karena itu, kesempatan ini penyaji menyuguhkan sebuah artikel yang mungkin bisa menambah pengetahuan mengenai Buddha Dhamma bagi para pembaca.

                       Pada abad ini Negara Thailand merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Negara Thailand merupakan central perkembangan Buddhasasana secara internasional. Dari situ kita bisa lihat para praktisi yang datang dari Negara-negara lain, ingin mendalami Buddhisme. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha masih ditumbuhkembangkan oleh sebagian penduduk dunia, yang tertarik Buddhisme. Dalam artian dhamma masih tetap dilestarikan dan dikembangkan oleh mereka yang ingin mengerti dan melihat dhamma. Jadi, penyaji mengajak para pembaca untuk melihat bagaimana aktivitas sebagian orang yang mempraktekkan ajaran Buddha pada saat ini. Kita langsung menuju kewilayah timur laut Thailand dimana letak vihara tersebut berada, tepatnya didesa ke III (375 moo 17) Kecamatan Isan, Kabupaten Muang, Provinsi Buriram (jalan antara Buriram- Surin Provinsi). Vihara yang mempunyai nama Wat Thungpho ini kelihatan asri dan berdiri megah serta agung dengan arsitektur yang bercirikhas Thailand, yang berdiri diatas sebidang tanah seluas 20 Rai (1 Rai= 800 Meter Persegi) atau 1,6 Hektar Persegi. Tanah tersebut sumbangan dari Bapak Swad dan Ibu Khea Khun marga Klang Kheo, penduduk asli Buriram. Beliau adalah pensiunan pegawai perpajakan di Thailand.

SEJARAH

                       Dalam sejarahnya diceritakan bahwa sebelum dibangunnya vihara ini tanah tersebut masih berupa lahan kosong, hanya ditumbuhi pohon dan semak-semak. Pada waktu itu, seorang Bhikkhu Hutan (Dhutangga), bernama Lungphu Leang Candagamo, tinggal ditanah tersebut. Tiap hari beliau melakukan pindapata keliling kampung, pada akhirnya orang-orang kampung mengetahui keberadaan beliau. Lambat laun mereka datang memohon bimbingan Dhamma dan mengungkapkan berbagai masalah, serta ikut dalam pengembangan batin (Meditasi) dibawah bimbingan beliau secara langsung. Sementara itu bapak Swad dan istrinya belum mengetahui jika dilahannya ada seorang bhikkhu yang tinggal. Hari demi hari terus berlalu, pada akhirnya bapak Swad dan istrinya mengetahuinya, tepat pada tanggal 9 Maret 2521 (1977) tanah tersebut diserahkan kepada Beliau, Lungphu Leang Candagamo, agar bisa dibangun sebuah vihara. Secara bertahap beliau memulai membangun kuti-kuti sederhana yang terbuat dari kayu dan jerami sebagai atapnya, bertujuan untuk menyediakan tempat tinggal para bhikkhu yang mau tinggal. Sementara pada tahun 2522-2523 (1979-1980) banyak umat mulai membantu pembangunan kuti dan dhammasala secara permanen. Untuk mendukung kelancaran pembangunan itu para donator selalu datang memberi sumbangan serta peralatan-peralatan yang diperlukan. Atas prakarsa dari Lungpho Avudhapanno (AT), setelah kepulangannya dari Indonesia, yang tanpa mengenal lelah karena beliau diberi mandat oleh Lungphu Leang Candagamo menjadi Kepala Vihara pada tanggal 19 Agustus 2526 (1983), secara resmi mendapat izin dari pemerintah setempat. Tanggal 26 September 2531 (1988) vihara tersebut diberi nama Thungpho yang mempunyai sebuah arti “Tempat Yang Cerah” karena keberadaan komplek vihara dikelillingi oleh banyaknya pohon bodhi sehingga menambah suasana religious yang mendalam dilingkungan vihara, mengingatkan kita kepada Buddha saat merealisasi Penerangan Sempurna. Sampai saat ini Lungpho Avudhapanno (Choukun Phraprasatsarakhun) masih menjabat sebagai Kepala VIhara dan merangkap jabatannya sebagai Kepala Sangha aliran Dhammayut diprovinsi Buriram. Sebelum beliau menjadi kepala vihara tersebut, beliau pernah mengabdikan dirinya sebagai Dhammaduta untuk Indonesia pada tahun 2522-2526 (1979-1983). Jadi peranan beliau bagi sangha dan umat Buddha diindonesia sangat besar sehingga jasanya tak mungkin terlupakan oleh seluruh umat Buddha Indonesia. Pada waktu beliau berada diindonesia, beliau menetap dibeberapa vihara diantaranya; Vihara Buddhametta Jakarta, Vihara Dhammadipa Arama Batu Malang dan Vihara Tanah Putih Semarang. Beliau dilahirkan didesa Kredeng pada tanggal 28 Januari 1945 (2488), beliau juga menyelesaikan belajarnya sampai Pali I-II diprovinsi Nakon Rajasima, salah satu center perkembangan Buddhadhamma diwilayah timur laut Thailand. Demikian tentang sejarah singkat Wat Thungpho dan Pendirinya, yang bisa memberi arti tersendiri bagi kita umat Buddha diindonesia.

AKTIVITAS

                       Untuk selanjutnya kita akan melihat aktivitas para bhikkhu dan samanera yang berada dilingkungan vihara tersebut. Setiap pagi mereka melakukan pindapata secara rutin didesa maupun dikota yang jaraknya dekat dengan vihara. Istilah pindapata disini merujuk pada dana makanan yang diserahkan secara langsung oleh umat kepada para bhikkhu. Semua orang dianjurkan untuk melakukan perbuatan ini tanpa terkecuali karena nilai-nilai berdana sangat luhur. Dalam pandangan agama Buddha, perbuatan ini (berdana) bukanlah suatu perbuatan yang hanya bisa dimonopoli oleh orang-orang yang mempunyai harta dan kekayaan yang banyak, melainkan mereka yang tidak mempunyai juga bisa melakukan. Nilai suatu dana tidak diukur dari banyak atau harga suatu barang yang dipersembahkan melainkan berdasarkan niat yang tulus tanpa pamrih dan hormat. Yang terpenting adalah barang yang akan didanakan bukanlah barang yang dihasilkan dari perbuatan yang salah tetapi minimal harus sesuai dengan nilai-nilai dhamma. Kehendak berdana berarti ada suatu niat yang tulus dalam menyokong atau membantu pihak penerima (Patigahaka), berdana bukanlah sekedar untuk formalitas pamer harta kekayaan, mencari muka, promosi diri dan lain-lain. Disamping itu, ada pula umat yang mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan dirumah, barangkali sebagai tanda untuk pelimpahan jasa kepada para leluhurnya. Jadi perlu diketahui, untuk melakukan perbuatan baik ini, ada tiga hal yang perlu dipahami, yaitu;

1. Pubbacittena ; Berbahagia sebelum memberi.

2. Muncacittena ; Berbahagia saat memberi.

3. Aparaparacittena ; Berbahagia setelah memberi.

                      Demikianlah sedikit pengertian tentang berdana mudah-mudahan para pembaca bisa memahami perbuatan ini tanpa ragu-ragu untuk mempraktekkannya, tanpa bimbang dan tanpa melihat siapa yang akan diberi. Menurut Mahapadayi Sutta dinyatakan bahwa dana senantiasa memberi pahala yang setimpal kepada pelakunya. Dan untuk selanjutnya kita akan melihat keadaan dimana lokasi vihara berada, yang memiliki beberapa bangunan yang semuanya mempunyai fungsi sendiri sebagai syarat-syarat keberadaan sebuah vihara.

UPOSATHAGHARA (UPOSATHA HALL)

                        Bangunan utama vihara adalah Uposathaghara (Uposatha Hall) atau Baddasima. Bangunan ini merupakan bangunan induk tempat diadakannya upacara sangha(Sanghakamma) dan upacara penting lainnya. Misalnya; pembacaan Patimokkha, patut diketahui bahwa pembacaan Patimokkha dilakukan secara hafalan, upacara ini dilakukan dua kali dalam sebulan tepatnya tanggal 1 dan 15 Lunar kalender, pada bulan gelap dan terang. Tradisi ini merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak Buddha masih hidup, untuk tradisi Theravada, untuk mengulang aturan-aturan kebhikkhuan. Aturan tersebut ada 227 aturan atau vinaya. Vinaya mempunyai sebuah arti melenyapkan, menghapus, memusnahkan, menghilangkan – dalam artian; perbuatan-perbuatan yang menghalangi kemajuan batin atau sesuatu yang membimbing keluar (bebas dari dukkha). Selain digunakan untuk pembacaan patimokkha gedung ini juga digunakan untuk pentahbisan para bhikkhu dan samanera serta keperluan lainnya, misal; peringatan dan perayaan hari besar. Kemudian tidak jauh dari gedung Uposathaghara ini terdapat sebuah gedung yang kita kenal dengan sebutan KUTI (monk’s cell) yaitu tempat tinggal para bhikkhu dan samanera. Bangunan-bangunan ini merupakan sumbangan dari umat, tujuannya untuk melimpahkan jasa kepada para leluhurnya, untuk vihara. Sebuah bangunan yang sederhana tetapi sangat memberi arti bagi kehidupan para bhikkhu dan samanera, yang sedang melatih diri dalam menjalankan Dhamma dan Vinaya ataupun pengabdiannya kepada Buddhadhamma dan masyarakat. Tujuan didirikan KUTI-KUTI ini agar supaya para bhikkhu dan samanera bisa terhindar dari nyamuk, maupun binatang melata lainnya. Sampai saat ini vihara tersebut menjadi tempat berlatih para bhikkhu dan samanera, mereka bukan hanya para bhikkhu local tetapi juga secara internasional. Dalam kesempatan itu para bhikkhu bertujuan untuk melatih diri dan mendalami buddhadhamma. Namun, bagi mereka yang ingin menetap, mereka harus memohon izin kepada Kepala Vihara, mematuhi aturan-aturan yang diterapkan. Hal ini menunjukkan adanya kedisiplinan yang mesti diperhatikan oleh para bhikkhu dan samanera yang menetap, juga menjaga kredibilitas masing-masing. Para bhikkhu dan samanera dianjurkan untuk saling toleran dan selalu mengutamakan kerjasama dalam menjalankan tugas-tugas vihara. Misalnya; menyapu, membersihkan Dhammasala serta yang lainnya. Tujuannya supaya terjalin suatu hubungan baik diantara para bhikkhu dan samanera, agar tidak timbul kesalahpahaman.

DHAMMASALA (TEMPAT KEBAKTIAN DAN MENDENGARKAN DHAMMA)

Selain bangunan diatas, ada sebuah bangunan yg disebut Dhammasala. Bangunan ini terletak ditengah-tengah lokasi vihara, tempat ini digunakan untuk pembacaan paritta pagi (hanya setiap Vassa) dan pembacaan Paritta sore (dilakukan setiap hari), juga digunakan untuk Makan (divihara ini hanya makan sekali), serta pembabaran Dhamma (Dhammadessana). Pembabaran dhamma bertujuan untuk memberikan pengertian kepada umat tentang Buddhadhamma, kegiatan ini sering dilakukan setiap hari Uposatha, hari-hari besar maupun perayaan-perayaan yang diadakan oleh vihara. Hal ini sangat penting dilakukan karena bisa mendidik umat agar nantinya bisa menerapkan Buddhadhamma didalam kehidupan sehari-hari. Pada hari-hari tertentu, para mahasiswa dari universitas terdekat juga datang untuk memohon bimbingan dhamma dan meditasi, agar mereka bisa menjaga eksistensi Buddhadhamma secara utuh. Makna dari Buddhadhamma adalah;

1. Buddha : Ia yang sadar, ia yang mengetahui, yang memiliki kesucian, memiliki cinta kasih dan kedamaian dalam   

                        batinNya.

2. Dhamma: Karakteristik kesucian, cinta kasih dan ketenangan yang timbul dari keutuhan moral (sila), meditasi

                          (Bhavana), dan kebijaksanaan (panna).

                       Jadi, seseorang yang akan merealisasi Buddhadhamma adalah ia yang menumbuhkembangkan nilai-nilai moral (sila), meditasi (Bhavana), dan kebijaksanaan (panna). Dengan pengabdian Lungpho Avudhapanno (AT) yang tiada henti-hentinya sehingga membawa nama harum vihara tersebut kesegenap pelosok penjuru dunia hingga kenegeri kita, Indonesia. Dibawah system manajemen yang beliau terapkan, kelangsungan hidup vihara ini dapat berlangsung secara continue tanpa mengalami problem yang berat. Dan akhirnya penyaji mengajak para pembaca dan umat Buddha seluruhnya untuk lebih tekun melaksanakan Buddhadhamma, tidak hanya teorinya saja, demi keharuman dan kejayaan Buddhasasana didunia ini. Semoga dhamma selalu bersinar didalam hati sanubari kita semua. Semoga dhamma terus jaya.

Ciram titthantu lokasmim sammasambuddhasasanam

Semoga ajaran Buddha tetap lestari didunia ini

Referensi; The history of Wat Thungpho