Hidup harmonis dalam Berumah Tangga

Ajaran Sang Buddha bertujuan tunggal, yakni melepaskan diri kita dari penderitaan. Sang Buddha dengan jelas mengatakan bahwa segala penderitaan hanya bersumber dari tiga hal, yang lebih dikenal dengan tiga akar kejahatan, yakni lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kegelapan batin). Atau kalau tiga terlalu banyak, maka kita boleh mengatakan hanya bersumber dari satu hal, yakni kegelapan batin. Karena kegelapan batin inilah, maka keserakahan dan kebencian muncul di diri kita ini. Maka adalah tak salah bila dikatakan sumbernya tiga, juga tak salah dikatakan sumbernya satu. Terserah mana yang lebih disukai karena maknanya adalah tetap sama.

Dengan mengerti paragraf yang dijelaskan di atas, maka tentu jugalah cara untuk meraih kebahagiaan harus diiringi dengan berkurangnya atau lenyapnya kegelapan batin. Yah, tentunya kalau kita membicarakan keharmonisan hidup berumah tangga, kita tak mengharapkan kedua insan untuk melenyapkan segala noda kegelapan batin. Dengan demikian, seorang Buddhis mengerti dengan jelas batas kebahagian yang dijanjikan oleh sebuah pernikahan. Pernikahan tentunya bukan kebahagiaan tertinggi dalam ajaran Sang Buddha.

Marilah kita menganalisa dulu beberapa hal dasar yang sering didiskusikan antar sesama Buddhis. Kemudian setelah itu, kita akan menjelaskan hal-hal yang mendukung keharmonisan hidup berkeluarga.

Apakah Sang Buddha menganjurkan pernikahan?

Sang Buddha tak menganjurkan pernikahan. Sang Buddha juga tak melarang umat Buddhis untuk menikah. Dalam hal ini, Sang Buddha mengerti tak semua orang dapat mengikuti ajaran yang lebih tinggi tingkatnya (kebhikkhuan) sehingga untuk mereka ini, menikah atau tidak adalah pilihan masing-masing. Tentunya umat Buddhis juga tak dipaksa untuk harus menikah.

Apakah boleh beristeri lebih dari satu?

Kesetiaan adalah hal yang patut dipuji. Pada zaman sekarang ini, beristeri (atau bersuami) lebih dari satu adalah melanggar norma sosial (ataupun norma hukum). Seorang yang bijaksana mengikuti norma-norma lingkungannya agar ia tak mengalami permasalahan dengan pihak yang berwenang (hukum) atau masyarakat disekitarnya (sosial/budaya). Sifat yang mudah dipuaskan adalah sifat yang dipuji dalam ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, seseorang seharusnyalah memiliki hanya satu isteri atau suami.

Apakah boleh menikah tapi tak mau mempunyai anak?

Seandainya suami dan isteri sama-sama menyutujui untuk tak mau memiliki anak, maka hal ini tentunya boleh. Nah, seandainya satu dari mereka ada yang tak setuju, maka mereka harus merundingkannya dengan penuh pengertian. Dalam ajaran Sang Buddha dikenal adanya kebahagiaan mempunyai anak dan juga dikenal kebahagiaan tidak mempunyai anak. Apakah kebahagiaan mempunyai anak? Kalau anak tersebut sukses, maka orang tuanya bahagia, dst. Apakah kebahagiaan tidak mempunyai anak? Kalau anak tersebut mati, maka orang tuanya akan bersedih. Dengan tak memiliki anak, mereka akan terbebas dari penderitaan ini, dst. Jadi mana yang dipilih: mempunyai anak atau tidak? Ini adalah pilihan masing-masing pasangan.

Apakah boleh menikah tapi tak melakukan hubungan seks?

Jawaban yang sama seperti yang tertera di atas. Tetapi dalam kasus ini, bedanya adalah keinginan untuk berhubungan seks (nafsu birahi) itu sangat kuat. Seandainya kedua pasangan memang benar-benar bertujuan untuk mengurangi nafsu seks, maka mereka harus sebanding dalam tingkat pelaksanaannya. Sedikit saja berbeda dalam tingkat pelaksanaannya, maka akan timbul penderitaan. Untuk mencegah hal ini, pasangan dapat berjanji untuk melaksanakan Atthasila (Delapan Sila) pada hari-hari tertentu secara rutin. Mereka juga harus saling jujur dan mengerti. Kalau pasangan tersebut tak tertarik untuk mengurangi nafsu seks, maka mereka seharusnya tak menggunakan hubungan seks sebagai hukuman, dalam arti bila si isteri tak senang dengan suami, ia seharusnya tak menolak suaminya, dan sebaliknya. Ini tak berarti diperbolehkan adanya pemaksaan.

Apakah boleh berteman baik dengan lawan jenis setelah menikah?

Hubungan persahabatan yang terlalu erat dengan lawan jenis setelah menikah adalah hal yang tak dianjurkan. Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya permasalahan yang akan muncul dari hubungan yang terlalu dekat ini. Ia yang bijaksana mengerti hal ini dengan benar sehingga ia pandai menjaga jarak dengan lawan jenis di dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan hubungan yang tak terlalu dekat dengan lawan jenis tetapi disadari bahwa terdapat nafsu seks (ataupun rasa suka) di dirinya terhadap lawan jenis tersebut, juga harus diatasi dengan usaha yang lebih kuat untuk menghindari kontak (pertemuan) dengan lawan jenis tersebut. Ajaran Sang Buddha mengajarkan jalan tengah. Dalam arti, pasangan masih boleh berteman dengan lawan jenis. Tetapi dalam hal-hal tertentu, seperti hal yang dijelaskan di atas, usaha harus dikembangkan untuk mengurangi kontak dengan lawan jenis tersebut.

Apakah boleh bercerai?

Perceraian seharusnya dianggap sebagai jalan akhir dan bukan solusi yang handy (mudah). Tetapi seandainya jalan telah tertutup, maka perceraian adalah jalan terbaik untuk kedua insan. Adalah tidak bijaksana bagi kedua insan untuk bertengkar terus dan menderita siang dan malam (tetangga-tetangga yang tak mau menderita juga ikut menderita mendengar pertengkaran ini). Maka bila tak diketemukan lagi solusi, perceraian adalah jalan yang tak dapat dikatakan salah. Tetapi perlu diingat bahwa perceraian bukanlah izin untuk membenci mantan pasangan. Pasangan yang telah berpisah seharusnya masih tetap akur dan memiliki rasa kasih sayang, tentunya bukan kasih sayang antar suami-isteri lagi tetapi kasih sayang antar teman. Kalau mereka telah mempunyai anak, maka perundingan tentang perawatan anak seharusnya disepakati. Bila anak tersebut telah dewasa, maka orang tua juga mempunyai kewajiban menjelaskan permasalahan ini dengan tak menimpa semua kesalahan kepada mantan pasangannya. Dengan demikian, anak tersebut akan mengerti dan tetap memiliki rasa hormat dan kasih sayang terhadap kedua orang tuanya.


Apakah suami isteri harus menetap dengan orang tua (mertua)?

Dalam ajaran Sang Buddha, anak berkewajiban merawat orang tua mereka. Bila saja orang tua lebih menyukai untuk menetap dengan anaknya, maka anak harus menerima orang tua. Seandainya pasangan si anak tak setuju, maka ajaran Sang Buddha mengenai hal ini seharusnya dijelaskan kepadanya. Adalah perbuatan yang tercela menelantarkan orang tua demi pasangan. Seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha, seorang isteri harus pandai membawa diri di keluarga suaminya, dan sebaliknya. Ia harus menghormati mertuanya, merawatnya dengan penuh kasih, dan tak menganggap mertuanya sebagai beban dan rintangan.

Apakah isteri harus mengikuti semua perkataan suami?

Seorang isteri yang baik akan mengikuti perkataan suaminya sejauh perkataan suaminya tak menimbulkan kerugian (salah). Seorang suami juga seharusnya mengikuti perkataan isterinya sejauh perkataanya juga tak membawa kerugian (salah). Bila terdapat perbedaan pendapat, maka perundingan seharusnya dilakukan dengan penuh pengertian dan rasa kasih sayang. Penentuan benar dan salah, tepat atau kurang tepat adalah seharusnya disesuaikan dengan ajaran Sang Buddha. Keharmonisan dalam pendapat sangat tergantung pada kesetaraan dalam kebijaksanaan yang akan dijelaskan di bawah.

Apakah isteri harus mencari nafkah (bekerja) juga?

Tidaklah terdapat keharusan bagi isteri untuk bekerja. Tetapi seandainya penghasilan suami sangat minimal, isteri juga seharusnya membantu suaminya dengan jalan mencari pekerjaan. Pasangan yang memiliki materi yang cukup mendapat kemewahan untuk memilih. Yang terpenting dalam pemilihan ini adalah suami isteri tak berlomba untuk mendapat gaji yang lebih tinggi dari pasangannya. Adalah tradisi di jaman Sang Buddha bagi suami untuk mencari nafkah dan isteri untuk mangatur apa yang telah diperoleh suaminya. Tetapi di jaman ini, juga tak dapat dikatakan salah bila isteri sendiri juga mempunyai pekerjaan asalkan tak mengakibatkan anak terlantar kebutuhannya. Dan juga tak dapat dikatakan salah bila pasangan mengikuti tradisi di jaman Sang Buddha ini.

Faktor-faktor pendukung keharmonisan

Semua nasehat yang dijelaskan oleh para pakar sosiologis atau psikologis dapat dipergunakan sejauh mereka tak bertentangan dengan Dhamma. Ajaran Sang Buddha tak pernah menolak nasehat dan bimbingan ajaran lain yang bersifat baik dan membawa kebahagiaan. Akan tetapi seorang Buddhis seharusnya pandai dalam menyaring informasi yang ada di masyarakatnya. Ia tak menelan bulat-bulat semua informasi dari para pakar, tetapi ia juga tak langsung menolaknya. Bila terdapat konflik, maka ia akan selalu mengikuti Dhamma yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha.

Hal-hal pendukung keharmonisan tersebut antara lain:

1) Dukungan mental

Isteri seharusnya dianggap sebagai teman baik suami, dan sebaliknya. Sehingga bila ada permasalahan, mereka dapat saling mendukung. Apa yang harus didukung? Pengurangan terhadap keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.

2) Komunikasi

Komunikasi seharusnya didasari oleh rasa kasih sayang dan belas kasihan. Ucapan yang ramah adalah kunci keharmonisan.

3) Saling mengerti

Mereka harus saling mengerti hal-hal yang disukai dan tak disukai oleh pasangan mereka. Dengan pengertian ini, mereka kemudian akan melakukan hal yang disukai pasangan mereka dan menjauhi hal-hal yang tak disukai pasangan mereka. Mereka harus mampu hidup bertoleransi bila terdapat konflik dengan keinginan diri mereka. Mampu melepaskan keinginan hati sendiri demi keinginan orang lain adalah hal yang dipuji oleh Sang Buddha.

4) Mengikis sifat keakuan

Tak egois dan tak sombong tetapi mementingkan kebahagiaan bersama. Ajaran Sang Buddha berakar pada dukkha (segala sesuatu adalah tak memberikan kepuasan abadi), anicca (segala sesuatu adalah tak kekal keberadaannya), dan anatta (tanpa roh/jiwa/pemilik/aku). Dengan demikian, sifat keakuan (egois, sombong, dll) juga harus dikurangi dengan merenungi ajaran Sang Buddha ini.

5) Kesabaran

Kata Sang Buddha, “Kesabaran adalah latihan tertinggi.” Dengan demikian, pasangan yang melatih latihan tertinggi ini akan dapat menangani banyak permasalahan yang tak dapat ditangani pasangan lain.

PENDUKUNG UTAMA KEHARMONISAN

Pepatah tua mengatakan bahwa mereka yang sejenis akan bersatu, mereka yang tak sejenis akan berpisah. Dari segala khotbah yang menyangkut keharmonisan hidup berkeluarga, keempat hal ini adalah merupakan salah satu penjelasan yang paling sering diberikan oleh Sang Buddha. Keempat hal tersebut adalah:

I. Keyakinan yang sebanding

Suami isteri harus memiliki keyakinan yang sebanding terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Apakah keyakinan ini?

a) Keyakinan terhadap Buddha: Guru Gotama adalah seorang Buddha, patut dihormati, sungguh sempurna, pemilik kebijaksanaan termulia dan pemilik moral terluhur, yang telah tercerahkan, pengenal alam semesta, pelatih makhluk, guru para dewa dan manusia, sempurna peneranganNya, dan termulia.

b) Keyakinan terhadap Dhamma: Dhamma yang sempurna yang diajarkan Guru Gotama dapat dilihat langsung, kekal keberadaanNya, mengajak diri kita untuk melihat dan mengujiNya, sifatnya menunjuk ke diri kita sendiri, dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang bijaksana.

c) Keyakinan terhadap Sangha: Murid-murid Guru Gotama melatih diri mereka secara baik, berkelakuan baik, menelusuri jalan yang benar, mengikuti ajaranNya dengan benar. Tercakup didalam Sangha ini adalah empat kelompok orang-orang suci dan delapan kelompok jenis individual. Merekalah murid Beliau yang patut diasuh dan dirawat kebutuhannya, patut dihormati dan diberikan dana, lahan termakmur dari segala lahan jasa.

Di sini keyakinan bukan hanya merujuk kepada sama agama. Kalaupun keduanya beragama Buddha, tetapi kalau keyakinan mereka tak sebanding, maka keharmonisan juga tak akan teraih. Juga perlu disadari keyakinan yang tak diiringi oleh kebijaksanaan akan membuat orang tersebut menjadi fanatik. Sedangkan kebijaksanaan yang tak diiringi keyakinan akan menghasilkan scepticism yang akan membawa keresahan batin. Dengan demikian, keyakinan dan kebijaksanaan harus saling mendukung satu sama lainnya. Kebijaksanaan akan dijelaskan di point keempat di bawah.

II. Sifat murah hati yang sebanding

Terdapat lumayan banyak pasangan yang tak serasi dalam hal kemurahan hati. Bila isteri berdana, suami merasa isteri hanya menghambur-hamburkan materi, dan sebaliknya. Pasangan seharusnya mengerti bahwa berdana adalah bertujuan untuk meningkatkan kwalitas pikiran ini (mengikis kekikiran, keserakahan, dan keegoisan). Dengan memiliki pengertian yang seiring ini, maka suami isteri akan saling mendukung dan berbahagia olehnya.

III. Kwalitas moral yang sebanding

Seperti halnya kemurahan hati, kwalitas moral juga seharusnya sebanding diantara mereka. Seharusnya jugalah mereka mengerti makna dari pelaksanaan sila yang bertujuan untuk meningkatkan kwalitas pikiran mereka. Dengan demikian, mereka juga akan saling mendukung dan berbahagia olehnya. Pelaksanaan sila yang lebih tinggi tingkatnya (Atthasila) seharusnya dilaksankan dengan persetujuan pasangannya terdahulu. Pelaksanaan yang seiring akan mencegah keresahan batin, terutama yang akan timbul dari pelaksanaan sila ketiga dari Atthasila (menghindari hubungan seks) yang telah dijelaskan di atas.

IV. Kebijaksanaan yang sebanding

Kebijaksanaan disini ditujukan pada pengertian yang benar tentang makna utama ajaran Sang Buddha. Pasangan yang serasi seharusnya memiliki pengertian yang setara tentang “dukkha” “anicca” dan “anatta.” Mereka juga seharusnya mengerti dengan jelas Empat Kesunyataan Mulia yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha. Disamping pengertian ini, mereka seharusnya juga setara dalam hal perenungannya dalam kehidupan sehari-hari dan pemakaian (application)nya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha, semua khotbah yang telah Beliau berikan memiliki satu kesamaan—yakni bersifat melenyapkan penderitaan melalui pengertian benar tentang ketidakpuasan, asal mula ketidakpuasan, berakhirnya ketidakpuasan, dan jalan menuju berakhirnya ketidakpuasan (Empat Kesunyataan Mulia).

Kesimpulan

Inilah keempat hal utama yang bila saja sebanding akan sulit mengakibatkan perselisihan antar suami isteri. Keempat hal ini seharusnya dipelajari oleh seorang Buddhis demi kesejahteraan dirinya dan orang lain. Inilah kunci keharmonisan hidup berkeluarga ala Buddhis.

sabbe satta bhavantu sukhitatta

semoga semua makluk turut berbahagia